Apa yang pembaca rasakan ketika minum segelas air di panas yang sangat terik dan haus yang sangat dahsyat? Jawabannya pasti sangat puas, sangat senang dan sangat bahagia. Bagaimana jika diberi lagi gelas kedua? Jawabannya puas, tapi dibanding gelas pertama, kepuasannya kurang. Bagaimana jika diberi lagi gelas ketiga? Pasti kepuasannya menurun dibanding gelas kedua. Begitulah jika diberi gelas ke empat, kelima dan seterusnya, sampai pada titik tidak mau minum lagi, dimana kepuasannya menjadi nol. Inilah yang disebut dalam ekonomi sebagai The law of diminishing marginal utility. Maknanya adalah, jumlah kepuasan akibat mengkonsumsi tambahan suatu barang, akan menurun ketika kita meningkatkan jumlah konsumsi barang itu. Hukum ini berlaku bagi semua konsumsi barang, apakah itu barang makanan, pakaian, atau papan. Pendek kata, konsumsi apapun yang bersifat kebendaan di dunia ini, pasti akan menemui hukum kepuasan yang makin berkurang ini. Itulah belanja dunia.
Berbeda dengan belanja akherat. Belanja akherat di defenisikan sebagai pengeluaran yang dilakukan oleh individu atau rumah tangga untuk membelanjakan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, infaq, sedekah dan wakaf. Belanja ini sama-sama mengeluarkan sejumlah uang, persis ketika kita belanja barang barang kebutuhan sehari-hari. Belanja akherat ini tidak mengurangi kepuasan ketika kita menambah porsi belanjanya, justru menambah kepuasan. Semakin banyak yang dibelanjakan untuk akherat dalam bentuk infaq, sedekah dan wakaf, maka semakin puas perasaan batin. Jadi, dalam belanja untuk konsumsi akherat ini, tidak berlaku hukum The law of Diminishing Marginal Utility, tapi sebaliknya, dalam istilah penulis, yang berlaku adalah The law of Augmenting Marginal Utility.
Dalam belanja akherat, uang yang dikeluarkan bukan membeli barang-barang dunia, tetapi membeli surga. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs At Taubah ayat 111, yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. Buya Hamka menafsirkan ayat ini sebagai berikut (Tafsir Al Azhar, Juz 4, hal. 295):

Menjual diri kepada Allah inilah yang pernah disebutkan oleh Shufi yang masyhur, Maulana Jalaluddin ar-Rumi: “Diri ini telah terjual habis kepada Allah, tidak bisa ditawar lagi. Barang yang sudah terjual tidak boleh dijual dua kali.” Maka, kesusahan dan penderitaan hidup, kesulitan dan kesengsaraan yang dihadapi di dunia ini, menjadi kecil belaka, tidak ada artinya, karena hidup sudah mempunyai pegangan, yaitu: “Aku ini hamba Allah”, dan hari depanpun mempunyai pegangan yaitu, “Surga yang dijanjikan Allah”. Maka harga yang dibayarkan Allah itu, kalau kita timbang-timbang dengan umur dan pengorbanan kita, apatah lagi diri dan harta benda itu pada hakekatnya Allah juga yang empunya, adalah terlalu mahal. Yang akan kita terima tidak sepadan, terlalu besar, jika dibandingkan dengan kecilnya yang kita berikan.
Tidak harus Kaya

Salah satu belanja akherat adalah wakaf. Wakaf dimaknai sebagai sedekah jariah, atau sedekah yang manfaatnya dapat dipetik terus menerus. Sedekah yang tidak habis sekali pakai. Belanja akherat dalam bentuk wakaf ini, merupakan belanja orang-orang cerdas.
Apakah hukum The law of diminishing marginal utility berlaku dalam wakaf? Jawabannya TIDAK. Semakin banyak wakaf seseorang, semakin bertambah kepuasannya. Orang yang berwakaf 10 juta lebih puas dari yang berwakaf 1 juta. Orang yang berwakaf 100 juta rupiah, lebih puas dari orang yang berwakaf 10 juta, begitulah seterusnya. Semakin banyak seseorang melakukan belanja akherat, semakin senang hatinya. Semakin banyak yang diwakafkan seseorang, semakin banyak pula ganti yang Allah berikan kepadanya.
Persoalannya, masih banyak yang beranggapan bahwa berbagi harta itu, harus kaya dulu. Ternyata, anggapan tersebut keliru. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 79 yang artinya:
(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Ayat ini menjelaskan bahwa sedekah itu tidak perlu kaya dulu. Sedekahlah sesuai dengan kesanggupannya, yang penting, ikhlas karena Allah SWT.
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ali Ash Shobuni mengutip hadits yang diriwayatkan dari Thabrani dari Ibn Abbas, bahwa orang-orang munafik itu mencela Abdur Rohman bin Auf yang datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa sedekah 40 uqiyah emas (setara 1270 gr emas), dengan celaan itu dilakukan karena riya. Sedangkan seorang laki-laki dari kaum anshar yang datang dengan sedekah satu sha’ kurma (setara 2,5 kg kurma), dicela juga oleh sebagian kaum munafik itu dengan mengatakan untuk apa sedekah sedikit itu? (Shofwatut Tafaasir, jilid 2, hal. 539). Dari ayat 79 surat At-Taubah tersebut, tahulah kita sifat kaum munafik yang selalu mencela orang yang bersedekah. Orang yang bersedekah banyak, dicela. Orang yang bersedekah sedikit, dicela juga.
Sehat dan Bahagia
Wakaf tidak perlu besar, menurut kesanggupan saja. Di Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI), anggota dihimbau untuk berwakaf dua ribu rupiah perminggu. Dimulai dari April tahun 2018 sampai 21 Juli 2021, jumlah wakaf yang dikumpulkan koperasi BMI baik dari anggota maupun karyawannya berjumlah 15,1 Milyar rupiah. Bahkan pada tanggal 28 Nopember 2019, Menteri Koperasi dan UKM RI memberikan penghargaan kepada Koperasi Syariah BMI sebagai nazir wakaf uang terbaik.
Ada yang menarik dari hasil penelitian Professor Dr. Ikrar Taruna, seorang guru besar ilmu Neurosains yang mengajar di Amerika. Beliau menemukan bahwa orang yang berderma untuk akherat dengan niat ibadah akan Bahagia, karena otaknya melepas hormon serotonin, hormon yang bertanggung jawab memicu emosi Bahagia dan ramah serta mencegah depresi. Itulah yang membuat orang merasa senang, puas, dan Bahagia. Taruna Ikrar mengungkapkan, perasaan bermakna (meaningful) terjadi ketika jumlah konsentrasi hormon oksitosin, endorfin, serotonin, epinephrine, dan dopamin terpacu di otak seseorang, khususnya pada bagian belakang (posterior) kelenjar pituitary (Republika.co.id, 25 agustus 2018).
Ternyata berwakaf itu menyehatkan otak. Dalam rangka merayakan World Brain Day 22 Juli, penulis menganjurkan wakaf untuk memelihara kesehatan otak.

Otak manusia adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Otak mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak manusia bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu terdapat kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf di dalamnya dipercayai dapat memengaruhi kognisi manusia. Pengetahuan mengenai otak memengaruhi perkembangan psikologi kognitif. Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya (Wikipedia).
Jika otak sehat, maka jantung sehat, tekanan darah sehat, badan sehat, pikiran sehat, emosi sehat, ingatan sehat dan perilakupun akan sehat. Oleh karena itu, dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 76 tahun, penulis mengajak semua berwakaf untuk Indonesia sehat.
Lebih jauh, Professor Taruna mengungkapkan bahwa tidak hanya berbagi uang (materi) yang membuat orang Bahagia. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman, bahkan berbagi senyumanpun memiliki dampak emosi seperti yang dihasilkan saat seseorang bersedekah.
Subhanallahu! Ternyata memperoleh kebahagiaan itu sangat sederhana: Berbagi. Berbagi harta lewat Zakat, infaq, sedekah dan wakaf akan membuat Bahagia. Berbagi ilmu dan pengalaman, akan membuat Bahagia, bahkan berbagi senyumpun akan membuat Bahagia. Mau sehat dan bahagia?
Sumber: tulisan H.Hendri Tanjung, PhD