Bagaimana Cara Meredam Risiko Investasi Wakaf ?

Banyak yang bertanya. Bagaimana dana wakaf diinvestasikan ke sebuah perusahaan? Kan risikonya besar? Tidak! Risiko akan sangat kecil. Lalu caranya bagaimana? Saya akan menjelaskannya dalam bentuk poin-poin

Bayangkan ada sebuah perusahaan, sebut namanya PT GHI yang telah berdiri sejak sepuluh tahun lalu dengan 1000 lembar saham masing-masing bernilai nominal Rp 1 miliar per lembar.  Kini GHI telah memiliki 30 gerai. Rata-rata laba Rp 300 juta per gerai. Total menghasilkan laba Rp 9 miliar.

Kinerja GHI selama ini bagus. Pertumbuhan bagus. Dalam 5 tahun terakhir selalu membukukan laba. Labanya pun terus tumbuh. Laporan keuangan selalu diaudit oleh akuntan publik dengan opini wajar tanpa perkecualian (WTP)

Tahun ini memutuskan berekspansi membangun 5 gerai baru dengan mendatangkan investor. Misalkan dibutuhkan dana Rp 1 miliar tiap gerai jadi total Rp 5 miliar.  Nazir Wakaf JKL tertarik untuk berinvestasi pada GHI dan siap dana Rp 5 miliar.

Paling tidak ada  2 alternatif  skema yang bisa dipilih. Alternatif pertama adalah waralaba. Alternatif ini sangat populer. Jika ini yang dipilih maka dana Rp 5 miliar itu digunakan untuk mendirikan 5 gerai yang sepenuhnya dimiliki oleh JKL. GHI akan memperoleh fee sebagai pewaralaba.

Dengan skema waralaba, 5 gerai baru sepenuhnya adalah milik JKL.  Maka,  segala risiko sepenuhnya ditanggung JKL. Katakan dari 5 gerai tersebut 3 rugi masing-masing Rp 300 juta. Sisanya 2 gerai memperoleh laba masing-masing Rp 300 juta. Maka secara keseluruhan JKL akan mengalami kerugian sebesar Rp 300 juta dari investasi tersebut. Inilah risiko besar skema pertama ini. Sehebat apa pun GHI tidak akan bisa menghilangkan risiko kegagalan. Sekelas McD atau KFC yang sudah berpengalaman dengan puluhan ribu gerai saja tetap selalu ada risiko kegagalan. Starbucks misalnya tiap tahun kurang lebih menutup hampir 2% gerainya. Walau tetap mendirikan gerai baru sekitar 6% dari total gerai sebelumnya sehingga pertumbuhan bersihnya adalah 4%.

Alternatif skema kedua adalah GHI menerbitkan 100 lembar saham baru. Lalu 100 lembar saham tersebut dibeli oleh JKL seharga Rp 5 miliar. Selanjutnya GHI membangun 5 gerai baru yang sepenuhnya dimiliki oleh GHI. Dengan demikian GHI total telah menerbitkan 1100 lembar saham, dengan 1000 lembar dimiliki pendiri dan 100 lembar dimiliki  JKL.

Katakan dari 5 gerai tersebut 2 laba masing Rp 300 juta.  Sisanya 3 rugi masing-masing Rp 300 juta. Jadilah secara keseluruhan GHI laba. Yang 30 gerai lama total laba Rp 9 miliar. Yang baru rugi Rp 300 juta. Jadi total masih laba Rp 8,7 miliar.

Skema pertama adalah investasi tanpa peredam risiko. Tidak boleh dilakukan oleh nazir wakaf. Skema kedua investasi dengan peredam risiko. Cocok untuk nazir wakaf.

Nazir wakaf harus mengamankan risiko. Persis seperti yang dilakukan oleh sebuah investment company. Paling tidak ada empat cara untuk keperluan ini. Cara pertama adalah memilih skema kedua seperti pembahasan di atas. Mengamankan risiko dengan skema yang sudah ada peredam risikonya. Memilih perusahaan seperti GHI yang telah memiliki peredam risiko dengan skema saham.

Cara kedua,  perusahaan yang dipilih untuk menerima investasi harus sudah sampai pada langkah keenam dari 8 langkah corporate life cycle. Sudah pada tahapan scale up. Artinya perusahaan telah menemukan revenue and profit driver (RPD). RPD adalah aset yang jika dimiliki perusahaan langsung meningkatkan pendapatan dan laba dengan risiko kegagalan historis yang rendah.

Cara ketiga, sebagai nazir, JKL tidak boleh menginvestasikan dananya pada satu perusahaan. Tidak boleh menaruh telur pada satu keranjang. Jadi, Rp 5 miliar yang ditanamkan oleh JKL pada GHI tidak boleh merupakan keseluruhan aset. Investasi baru aman jika katakan total dana yang dikelola JKL adalah Rp 500 miliar. Jadi yang diinvestasikan pada GHI hanya 1% dari total aset.

Keempat, tidak semua aset wakaf diinvestasikan pada saham. Best practice dari investasi yang dilakukan oleh investment company dan pengelola dana wakaf (endowment fund) maka proporsi aset yang diinvestasikan pada saham adalah sekitar 50%. Selebihnya yaitu sekitar 30% ditempatkan pada investasi aset fix income yaitu skema utang piutanmg.  Bisa berupa deposito,  obligasi, sukuk dan sejenisnya. Sisanya yaitu sekitar 20% untuk properti yang disewakan atau aset-aset sejenis.

Investasi dana wakaf butuh peredam. Seperti shock breaker pada mobil yang membuat penumpangnya tetap nyaman walau jalannya bergelombang.
Demikian cara mengamankan dana wakaf. Bagaimana pendapat Anda, aman kan? Tidak sekedar aman. Bahkan dana wakaf menjadi bukan sekedar solusi sosial. Tapi sekaligus juga menumbuhkan perusahaan umat. Menjadi salah satu pilar dari enam pilar kemerdekaan ekonomi umat dan bangsa. Untuk munculnya banyak perusahaan dakwah yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa masyarakat berbagai bangsa. Ayo segera dirikan dan perkuat nazir wakaf. Kita bisa!

Sumber: Tulisan Iman Supriyono

https://korporatisasi.com/2021/06/27/peredam-risiko-investasi-wakaf/

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this:
search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close