Banyak yang bertanya kepada saya siapakah yang boleh menjadi nazhir? Pertanyaan yang lebih spesifik lagi apakah wakif boleh menjadi nazhir dan apakah nazhir bisa diwariskan? Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi nazhir dan apa saja tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh nazhir?
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa nazhir menjadi persoalan yang sangat penting dalam perwakafan.
Nazhir memang memiliki peran penting dalam perwakafan. Berapa banyak harta wakaf yang berhasil dihimpun dan dikelola serta bermanfaat untuk kesejahteraan umat disebabkan nazhirnya amanah. Berapa banyak harta wakaf yang terlantar, hilang atau tidak ada lagi jejaknya disebabkan oleh nazhir yang tidak menjaganya, menelantarkannya bahkan dengan sengaja menghilangkannya. Berapa banyak hasil wakaf yang tidak diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (maukuf alaih) atau diberikan tapi tidak tepat sasaran karena nazhir menganggap harta wakaf sebagai miliknya. Berapa banyak sengketa wakaf atau sengketa nazhir terjadi karena tindakan nazhir yang tidak tepat dalam mengelola wakaf. Berapa banyak orang kaya yang enggan berwakaf karena ada nazhir yang tidak amanah atau tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pentingnya peranan nazhir dalam perwakafan telah menjadikan ulama bersepakat bahwa meskipun nazhir bukan sebagai rukun wakaf namun wakif harus menunjuk nazhir. Hal ini ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi enam unsur wakaf yang salah satunya adalah nazhir. Undang-Undang wakaf juga menyebutkan bahwa nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Nazhir menerima harta wakaf dari wakif bukan untuk dimiliki tetapi sebagai amanah yang harus ditunaikan untuk mewujudkan tujuan wakaf. Kemanfaatan harta wakaf dan mengalirnya pahala wakaf secara terus menerus kepada wakif terletak pada pundak nazhir. Jika nazhir mengabaikan harta wakaf, maka wakaf menjadi tidak bermanfaat dan tidak ada lagi pahala yang mengalir untuk wakif.
Sebagai penerima amanat, nazhir wajib menjaga, mengawasi, memelihara, mengelola, dan memastikan wakaf bermanfaat untuk maukuf alaih. Memang secara bahasa nazhir berasal dari kata kerja nazhara yang artinya menjaga, mengawasi, memelihara, dan mengelola. Adapun nazhir adalah isim fa’il dari kata nazhara yang artinya penjaga atau pengawas. Penyebutan nazhir wakaf adalah penyebutan yang disebutkan oleh mayoritas ulama dan yang paling banyak digunakan saat ini. Selain disebut dengan nazhir, ada juga yang menyebutnya dengan qayyim dan mutawalli yang artinya sama dengan nazhir. Secara istilah ulama mendefinisikan nazhir sebagai pihak yang mengurus semua urusan wakaf.
Wakif dapat menunjuk dirinya atau pihak lain untuk menjadi nazhir atas harta yang diwakafkannya. Untuk menjadi nazhir tidak ada persyaratan gender karena nazhir boleh laki-laki atau perempuan. Mengenai hukum kebolehan wakif menjadi nazhir dan perempuan menjadi nazhir, merupakan kesimpulan hukum dari wakaf Umar bin Khattab atas tanahnya di Khaibar di mana nazhirnya Umar sendiri, lalu digantikan oleh puterinya yang bernama Hafsah, dan berikutnya sebagai pengganti puterinya adalah orang-orang yang berkompeten dari keluarganya.
Dari kisah wakaf Umar ini juga dapat disimpulkan bahwa apabila wakif mensyaratkan bahwa yang menjadi nazhir atas harta wakafnya adalah dirinya sendiri atau si A, dan kalau dia meninggal diganti si B, dan kalau dia meninggal diganti si C, maka syarat wakif tersebut harus diikuti atau dilaksanakan.
Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa wakif tidak boleh menunjuk atau mengangkat dirinya sendiri sebagai nazhir, agar tidak ada kesan ia wakaf untuk dirinya sendiri, atau dikhawatirkan ia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari tujuan wakaf. Menurut penulis, siapapun dapat menjadi nazhir baik wakif maupun pihak lain asalkan memenuhi syarat sebagai nazhir. Soal potensi penyimpangan dan anggapan wakafnya untuk dirinya sendiri jika yang menjadi nazhir adalah wakifnya, dapat dijaga dengan pengawasan dan penegakkan hukum. Lagi pula, jika yang menjadi nazhir bukan wakif tapi pihak lain, maka potensi penyimpangan wakaf atau hasilnya tidak dinikmati oleh maukuf alaih tetap ada. Jadi, kuncinya agar tidak terjadi penyimpangan wakaf dari tujuannya ada pada pengawasan dan penegakkan hukum.
Ada juga anggapan yang menyatakan bahwa wakif tidak boleh menjadi nazhir karena ketika ikrar wakaf, wakif menyerahkan harta yang diwakafkan kepada pihak lain untuk diterima. Kalau nazhirnya adalah wakif maka yang ada hanya penyerahan harta wakaf dari wakif, namun tidak ada penerimaan harta wakaf oleh pihak lain. Masalah ini masuk dalam pembahasan shighat yang merupakan salah satu dari rukun wakaf. Shighat adalah ikrar wakaf atau pernyataan wakaf dari wakif yang ditandai dengan penyerahan benda atau barang yang diwakafkan. Ulama sepakat bahwa shighat dalam akad wakaf cukup dengan ijab (penyerahan) saja dari wakif tanpa qabul (penerimaan) dari pihak lain, sebab wakaf termasuk akad tabarru’ yang terlaksana dari satu pihak saja yaitu wakif.
Apabila wakif tidak menunjuk siapapun untuk menjadi nazhir atas harta yang diwakafkannya, maka yang menjadi nazhir adalah hakim atau pemeritah. Dalam hal ini, hakim atau pemerintah dapat menunjuk pihak lain untuk menjadi nazhir atas harta wakaf yang tidak ada nazhirnya.
Bagaimana dengan maukuf alaih apakah dibolehkan menjadi nazhir? Maukuf alaih boleh menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan nazhir karena hasil atau manfaat wakaf kepunyaaanya. Jika yang ditunjuk sebagai maukuf alaih beberapa orang saja, maka mereka semua dapat menjadi nazhir. Namun, jika terdiri dari banyak orang, maka dipilih beberapa orang dari mereka untuk menjadi nazhir. Jika yang menjadi maukuf alaih anak-anak atau orang gila, maka yang menjadi nazhir adalah walinya selama wakif tidak menunjuk seseorang untuk menjadi nazhir mewakili mereka, atau wakif telah menunjuk seseorang namun orang tersebut meninggal dunia.
Seseorang tidak diperbolehkan mengajukan dirinya atau meminta untuk diangkat atau ditetapkan sebagai nazhir. Menurut mazhab Hanafi tidak diangkat sebagai nazhir mereka yang meminta untuk diangkat sebagai nazhir. Mereka juga berpendapat bahwa yang lebih baik adalah seseorang tidak meminta untuk menjadi nazhir untuk menghindari fitnah dan sebagai bentuk kehati-hatian dalam urusan agama. Namun demikian, jika seseorang memiliki kompetensi menjadi nazhir dengan niat yang tulus untuk mewujudkan tujuan wakaf, maka dia boleh meminta untuk diangkat sebagai nazhir.
NAZHIR WAKAF
Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi nazhir? Beberapa syarat penting untuk menjadi nazhir yang telah ditetapkan para fuqaha adalah sebagai berikut:
(1) Nazhir harus beragama Islam apabila maukuf alaih nya beragama Islam atau untuk lembaga keagamaan Islam. Jika maukuf alaih nya non muslim tertentu, maka nazhirnya boleh non muslim.
(2) Nazhir harus dewasa, berakal, adil, dan amanah.
(3) Nazhir harus mampu melaksanakan tugasnya
(4) Nazhir harus memiliki pengetahuan tentang wakaf, hukum wakaf, pengelolaan wakaf, dan pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan wakaf.
Nazhir yang memenuhi persyaratan, akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Harta wakaf akan bermanfaat, terjaga keberlangsungannya, bertambah hasilnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Sebaliknya nazhir yang tidak memenuhi persyaratan, akan membuat wakaf tidak berperan dalam mewujudkan kesejahteraan umat.
Lantas, apa saja tugas-tugas nazhir?
Para fuqaha telah menetapkan tugas-tugas yang harus dilaksanakan nazhir, di antaranya:
- Melaksanakan syarat atau ketetapan wakif karena kedudukan syarat wakif seperti nash dari syari (al-Qur’an atau al-Sunnah). Hanya saja, nazhir boleh melanggar apa yang telah ditetapkan oleh wakif jika ada kemaslahatan yang lebih besar setelah mendapat izin dari hakim atau pemerintah.
- Menjaga harta wakaf dan hasilnya. Wakaf adalah sedekah yang pahalanya akan terus mengalir kepada wakif, baik semasa hidupnya masupun setelah ia meninggal dunia. Untuk itu, nazhir harus menjaga keberlangsungan harta wakaf dan manfaatnya. Apabila harta wakaf hilang, terlantar, tidak bermanfaat, atau tidak ada hasilnya, maka nazhir berdosa.
- Mengelola dan mengembangkan wakaf serta memperbaik kerusakannya. Tugas ini menjadi tugas nazhir yang paling penting untuk dilaksanakan agar harta wakaf terus bermanfaat atau memberikan hasil. Untuk biaya perbaikan harta wakaf, dialokasikan dari hasil pengelolaan wakaf.
- Membagi hasil pengelolaan wakaf kepada maukuf alaih.
- Tidak melakukan tindakan yang berpotensi menghilangkan harta wakaf, seperti menjaminkan atau menggadaikan harta wakaf.
Persoalan nazhir, persyaratan dan tugas-tugasnya yang telah dibahas dan ditetapkan oleh fuqaha, dirumuskan kembali dalam undang-undang wakaf yang menetapkan bahwa nazhir meliputi perseorangan yang terdiri dari minimal 3 orang, organisasi, dan badan hukum.
Ketetapan tersebut mengharuskan nazhir berbentuk kelompok orang atau kelembagaan agar tercipta mekanisme kerja yang baik yang mengedepankan kemaslahatan umat, bukan mengutamakan kemaslahatan pribadi.
Selanjutnya, agar wakaf benar-benar berfungsi sesuai dengan tujuan-tujuannya, undang-undang wakaf juga memperketat seseorang atau lembaga yang akan menjadi nazhir dengan menetapkan bahwa perseorangan dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Adapun untuk organisasi dan badan hukum untuk dapat menjadi nazhir harus merupakan organisasi dan badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam, selain pengurusnya harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan.
Nazhir yang telah memenuhi persyaratan, oleh undang-undang wakaf diberikan tugas untuk melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam melakanakan tugas-tugas tersebut, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
Mengenai imbalan nazhir ini, ulama fikih juga sepakat bahwa nazhir diberikan imbalan sesuai upah standar atau lebih sesuai dengan kinerjanya. Mereka berdalil dar hadis Rasulullah yang menceritakan wakaf Umar bin Khattab: “Tidak dilarang bagi orang yang mengurusinya (nazhir) untuk mengambil makan dari (hasil) harta wakaf dengan cara yang baik, atau untuk memberi jamuan kepada temannya, tanpa bermaksud mengambil kekayaan dari harta wakaf itu.”
Undang-undang wakaf juga menetapkan bahwa nazhir dalam melaksanakan tugasnya memperoleh pembinaan dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia. Selain pembinaan, penilaian dan pengawasan terhadap kinerja nazhir harus dilakukan untuk mengetahui kekurangan, penyimpangan dan keberhasilan nazhir dalam melaksanakan tugasnya.
Nazhir yang tidak melaksanakan tugasnya atau melakukan penyimpangan, diberhentikan dan diganti dengan nazhir lain yang berkompeten atau profesional, dan diproses secara hukum atas penyimpangan yang dilakukannya.
Nazhir yang mampu atau berhasil melaksanakan tugasnya perlu disertifikasi. Nazhir yang sudah disertifikasi, diumumkan kepada publik agar dipilih oleh wakif yang akan mewakafkan hartanya.
Wakif atau calon wakif harus diberikan edukasi pentingnya memilih atau menunjuk nazhir yang profesional, memiliki kompetensi sesuai bidang wakaf yang akan dikerjakannya.
Sebagai contoh, wakif yang menghendaki wakafnya dikelola menjadi lembaga pendidikan, maka harus memilih nazhir yang memahami dunia pendidikan dan mampu mengelola lembaga pendidikan. Wakif yang menghendaki wakafnya dikelola menjadi rumah sakit, maka harus memilih nazhir yang memiliki kompetensi dalam pembangunan dan pengelolaan rumah sakit. Wakif yang menghendaki wakafnya dikelola secara komersial, maka harus memilih nazhir yang ahli dalam berbisnis atau berinvestasi.
Nazhir harus mengelola harta wakaf untuk sebesar-besarnya kepentingan maukuf alaih, bukan untuk sebesar-besarnya kepentingan nazhir.
Hanya nazhir yang profesional dan amanah yang dapat mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Nazhir yang profesional dan amanah bisa berasal dari wakif, selain wakif, keturunan wakif, laki-laki atau perempuan. Yang paling penting, nazhir tidak hanya seorang tapi kelompok orang atau berbentuk organisasi atau badan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang wakaf.
Sumber: tulisan bagian pertama dari dua tulisan Dr. Fahruroji, Lc, MA )