Tahun 2019, dari masyarakat Indonesia terkumpul dana zakat, infak dan sedekah sebesar Rp 10,227,943,806,555. Nilai tersebut tumbuh 17,73% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 8,688,221,234,354. Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi ketika itu yang hanya sebesar 5,02%. Inilah angka dari Statistik Zakat Nasional 2019 yang diterbitkan oleh BAZNAS. Data tahun 2020 belum keluar. Tetapi saya yakin kerja akumulasi seluruh lembaga amil zakat (LAZIS) maupun badan amil zakat (BAZIS) tetap tumbuh walaupun ekonomi justru mengalami kontraksi 2,07 % akibat pandemi.
Membaca angka itu, hati saya campur aduk. Satu sisi senang sekali. Bahagia. Betapa ternyata umat ini memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Tinggi dan pertumbuhannya pun tinggi. Sisi lain sedih sekali. Mengapa dana sebesar itu dari tahun ke tahun selalu “melayang”? Apa yang terkumpul tahun ini habis dikonsumsi tahun ini juga. Melayang karena secara ekonomi hanya mendorong peningkatan konsumsi. Bersifat operational expenditure bagi dana umat. Padahal mestinya sangat powerful untuk menjadikannya pendorong peningkatan kapasitas produksi umat dengan menjadi capital expenditure.
Kita cermati lebih lanjut, dari angka Rp 10 triliun lebih itu Rp 3,951,113,706,297 alias 38,9% adalah berupa zakat maal. Rp 306,737,147,482 alias 3% adalah zakat maal badan. Rp 1,406,144,490,186 alias 13,7% adalah zakat fitrah. Total kontribusi zakat adalah 55,4%. Dengan demikian, sisanya yaitu sebesar Rp 4.563.948.462.590 alias 44,6% adalah berupa infak dan sedekah.
Untuk yang zakat, secara fikih bersifat wajib. Cara penyalurannya pun sudah ditentukan dengan tegas. Dengan demikian, maka biarlah zakat tetap berkarakter konsumtif. Tahun ini dikumpulkan, tahun ini juga disalurkan untuk kebutuhan konsumtif masyarakat yang membutuhkan.
Yang berpotensi adalah infak yang Rp 4,56 triliun itu. Sayang sekali uang itu juga “melayang”. Tahun ini dikumpulkan. Tahun ini juga disalurkan habis untuk konsumtif. Hanya jadi “umpan”. Padahal mestinya bisa menjadi “kail”.
Dan Islam sudah menyediakan fasilitas untuk itu. Menjadikan dana itu bukan hanya bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan sosial seperti fakir miskin dan sejenisnya. Tetapi juga sekaligus menjadi sarana untuk memupuk kekuatan umat. Kekuatan umat untuk berkontribusi dalam memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat luas.
Wakaf. Itulah pintu terbuka yang telah disediakan oleh Islam untuk “kail” itu. Skema amal jariah ini sungguh potensial. Skema yang benar-benar menjadi pahala yang mengalir karena manfaatnya juga terus mengalir. Sudah banyak pembicaraan yang sangat bergairah untuk mendayagunakannya. Lalu, mengapa infak itu tidak dikonversi menjadi wakaf?

Untuk ilustrasi, mari kita simulasikan dua lembaga yaitu ABC dan DEF. ABC adalah lembaga amil zakat infak dan sedekah alias LAZIS. DEF adalah lembaga pengelola wakaf alias nazir. Mari kita simulasikan ABC dan DEF yang sepanjang waktu 15 tahun mulai tahun ini, 2021, disebut sebagai tahun nol, sampai tahun 2036 yang disebut sebagai tahun ke-15
Misalkan pada tahun 2021 ini mengumpulkan ZIS sebesar Rp 100 milyar dalam setahun. Dengan pengumpulan itu, tahun 2021 ABC mendapatkan bagian dana operasional sebesar 12,5% alias Rp 12,5 miliar. Kita simulasikan bahwa ABC selalu mengumpulkan ZIS secara konstan sepanjang 15 tahun dan selalu menggunakan haknya sebagai amil sebesar Rp 12,5 miliar per tahun sepenuhnya untuk biaya operasional tanpa sisa.
Tahun 2021 alias tahun ke nol, sebagaimana ABC, DEF juga mengumpulkan dana sebesar Rp 100M Bedanya dana ini adalah dana wakaf. Bukan dana ZIS. Karena dana wakaf maka pada tahun ke nol ini DEF tidak mendapatkan hak sama sekali dari dana yang dikumpulkannya. DEF menginvestasikan semua dananya.

Tiap tahun DEF menerima dana hasil investasi sebesar 10% dari dana tersebut alias Rp 10 miliar. Atas hasil investasi itu, tiap tahun DEF menerima dana hasil investasi Rp 10 miliar. Sebagai nazir, sesuai UU Wakaf, DEF berkewajiban menyalurkan 90% dana hasil investasi yaitu Rp 9 miliar. Sisanya, yaitu 10% alias Rp 1 miliar merupakan hak DEF untuk menggunakannya untuk biaya operasionalnya sebagai organisasi. Dana Rp 1 miliar ini akan terus menerus diterima ABC sebagai biaya operasional sejak tahun 2022 dan seterusnya.

Tahun 2022 alias tahun pertama, atas dana yang diperolehnya dan diinvestasikannya pada tahun 2021, DEF menerima bagi hasil investasi sebesar Rp 10 miliar. Dengan demikian DEF memperoleh bagian sebesar Rp 1 miliar yang bisa digunakan untuk biaya operasional lembaga. Sebagaimana ABC, tahun 2022 DEF juga mampu mengumpulkan dana wakaf Rp 100 miliar lagi. Uang itu langsung diinvestasikan dengan hasil sebagaimana dana tahun sebelumnya.
Tahun 2023 alias tahun kedua, DEF menerima lagi bagian dari hasil investasi dana yang dikumpulkan pada tahun 2021 sebesar Rp 1 miliar. DEF juga menerima bagian dari hasil investasi atas dana yang dikumpulkannya pada tahun 2022 sebesar Rp 1 miliar. Dengan demikian total dana operasional DEF tahun kedua, 2023, adalah Rp 2 miliar. Sebagaimana ABC, tahun 2023 DEF juga tetap mampu mengumpulkan dana wakaf dari masyarakat lagi sebesar Rp 100 miliar dan langsung diinvestasikan.
Tahun 2024 alias tahun ketiga, DEF menerima bagian dari hasil investasi dana yang dikumpulkan tahun 2021, 2022, dan 2023 masing-masing Rp 1 miliar. Jadi tahun 2024, alias tahun ketiga, DEF mendapatkan dana operasional sebesar Rp 3 miliar. Sebagaimana ABC, pada tahun 2024 itu DEF juga mengumpulkan dana wakaf baru sebesar Rp 100 miliar dan semuanya langsung diinvestasikan.
Demikianlah perjalanan DEF dari tahun ke tahun. Tiap tahun jatah hasil investasi yang diterimanya terus naik Rp 1 miliar. Tahun 2025 alias tahun keempat menjadi Rp 4 miliar. Tahun 2026 menjadi Rp 5 miliar. Tahun 2027 dan seterusnya naik seperti itu. Maka, pada tahun ke-13 alias tahun 2034 mendapatkan jatah dana dari hasil investasi sebesar Rp 13 miliar. Pada tahun inilah pertama kalinya DEF mendapatkan jatah biaya operasional melampaui jatah biaya operasional yang diterima oleh ABC.
Tahun-tahun berikutnya, DEF semakin melesat meninggalkan ABC. Tahun ke ke-25 jatah dana operasional DEF akan sebesar Rp 25 miliar alias sudah 2x ABC. Dengan demikian, jika biaya-biaya operasional adalah linier, maka alokasi gaji bagi SDM DEF juga 2x ABC. Jika gaji merupakan cerminan kesejahteraan maka pada tahun ke 25 karyawan DEF 2x lebih sejahtera daripada karyawan ABC.

Simulasi di atas memberi kita paling tidak tujuh poin penjelasan penting tentang wakaf. Pertama, bahwa ada kesulitan besar LAZIS untuk mengonversikan seluruh kerja mengumpulkan dana ZIS menjadi mengumpulkan dana wakaf. Atau paling tidak mengonversi 44,6% dana dari dana ZIS. Dari infak menjadi wakaf. Mengapa demikian? Akan terjadi penurunan jatah dana operasional selama 14 tahun yaitu dari tahun saat mulai mengonversi (tahun ke nol), sampai tahun ke 13. Penerimaan dana operasional baru aman pada tahun ke 14. Sepanjang penurunan masa penurunan tersebut artinya gaji karyawan dan manajemen LAZIS juga akan berkurang dan kesejahteraannya menurun.
Kedua, satu satunya cara bagi LAZIS untuk masuk dalam pengelolaan dana wakaf adalah melakukan konversi secara bertahap. Misal, dimulai dengan hanya mengonversikan 1%. Jadi konsisten dengan contoh ABC di atas, tahun ke nol hanya Rp 1 miliar berupa wakaf. Sisanya, Rp 99 miliar tetap berupa ZIS sehingga juga hanya mengalami penurunan kesejahteraan sebesar 1%. Demikian seterusnya tahun-tahun berikutnya wakaf menjadi Rp 2 miliar, Rp 3 miliar, Rp 4 miliar dan seterusnya. Dengan cara ini maka konversi memakan waktu 100 tahun. Lama sekali.
Ketiga, dibutuhkan lembaga baru, bisa berbadan hukum yayasan ataupun perkumpulan, yang memang sejak awal dirancang sebagai nazir. Ilustrasinya adalah seperti DEF di atas. Dibutuhkan puasa selama 13 tahun (yaitu tahun ke nol sampai tahun ke-12 pada ilustrasi di atas). Seiring berjalannya waktu puasa akan makin terasa ringan dan akan memetik hasilnya setelah beroperasi 14 tahun. Saat itu DEF lebih sejahtera dari pada ABC.
Keempat, zakat, infak dan sedekah adalah bisa disebut sebagai operational expenditure alias opex bagi dana sosial umat. Karena bersifat belanja operasional maka sifatnya tidak menumbuhkan ekonomi. Hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Untuk menumbuhkan ekonomi, dibutuhkan dana wakaf yang berkarakter sebagai capital expenditure alias capex. Wakaflah yang berfungsi untuk ini.

Wakaf menumbukkan ekonomi karena karakter dananya sama dengan dana kelolaan sebuah perusahaan investasi alias investing company. Sebagian dana kelolaan akan menjadi dana investasi jangka panjang yaitu dana untuk pengembangan perusahaan-perusahaan dengan skema ekuitas. Masuk ke perusahaan sebagai belanja modal (capital expenditure) perusahaan untuk ekspansi. Melakukan proses korporasi yaitu mengembangkan pasar, membangun pabrik baru, menambah cabang baru, menambah gerai baru, ekspansi wilayah, akuisisi perusahaan untuk ekspansi ke laur negeri dan sebagainya.
Kelima, poin keempat di atas juga merupakan jawaban atas keluhan tentang ketertinggalan ekonomi umat Islam dibanding umat-umat agama lain. Atau bisa juga ketertinggalan negeri ini dibandingkan negeri-negeri lain karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Maka, kita perlu mendorong wakaf agar ekonomi umat dan bangsa tumbuh. Munculkan banyak lembaga seperti DEF agar umat dan bangsa ini mampu menghadirkan perusahaan-perusahaan yang merupakan principal mobil, motor, gadget, pesawat, makanan, minuman, sabun dan sebagainya melalu proses korporatisasi. Bangsa produsen bukan hanya bangsa konsumen. Bangsa principal bukan hanya bangsa pedagang.
Keenam, data pertumbuhan ZIS pada bagian awal tulisan ini adalah tantangan. Bagaimana yang berkembang tidak hanya opex tetapi juga capex umat. Laman resmi BWI belum menampilkan laporan dana wakaf seperti laporan dana ZIS di atas. Saya kita ini tantangan yang luar biasa. Wakaf adalah pisau bermata dua, menyelesaikan kebutuhan sosial sekaligus menumbuhkan ekonomi umat dan bangsa.
Ketujuh, banyak hal yang bisa dikreasikan oleh lembaga nazir seperti DEF. Bisa muncul lembaga-lembaga wakaf spesifik untuk solusi berbagai bidang sosial. Bisa muncul lembaga khusus penyedia beasiswa abadi seperti ACR yang bisa diakses melalui www.acrku.org dengan cita-cita menjadi Fulbright dari timur. Bisa muncul lembaga pengelola dana abadi untuk biaya pasien kaum miskin. Bisa muncul dana abadi untuk santunan bencana alam. Bisa juga dana abadi untuk mualaf. Bisa dana abadi untuk penyandang cacat. Bisa dana abadi untuk prestasi olah raga dan sebagainya. Semua akan berlomba-lomba memupuk dana abadi dari dana wakaf yang kalkulatornya hanya mengenal tombol plus dan kali. Tidak ada tombol minus dan bagi. Terus tumbuh.
Itulah tujuh kesimpulan sekaligus tantangan. Anda tertarik? Dibutuhkan banyak social entrepreneur untuk menjadi founder alias pendiri lembaga seperti ABC dengan berbagai pemanfaatan dana hasil investasi yang spesifik. Agar dana Rp 10 triliun itu tidak terus menerus ‘melayang” karena hanya menjadi opex umat. Agar dana Rp 10 triliun yang tiap tahun terus meningkat itu bisa berkontribusi menumbuhkan ekonomi. Menjadi capex. Menjadi “kail” bukan sekedar “ikan”. Jika dilakukan mulai sekarang, dana abadi Rp 500 triliun lebih seperti yang dimiliki oleh Harvard Management Company itu hanya masalah waktu. Anda tertantang?
Sumber: https://imansu.com/2021/03/07/wakaf-agar-rp-10-triliun-tidak-melayang-tiap-tahun/