Menarik sekali tulisan Professor Nanat Fatah Natsir, rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2003-2011) berjudul “Menimbang Rektor Asing” di harian ini, Kamis, 25 Juli 2019. Tulisan tersebut menimbang gagasan Presiden Jokowi untuk mendatangkan rektor asing guna meningkatkan kualitas pendidikan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Menurut Prof Nanat, rendahnya kualitas PT di Indonesia disebabkan anggaran pendidikan yang rendah untuk pengembangan PT. Anggaran yang rendah ini akan berimbas pada rendahnya gaji dosen, tenaga kependidikan, kualitas perpustakaan, gaji rector, termasuk rendahnya kualitas penelitian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Di akhir tulisan, beliau mengusulkan agar pemerintah menyiapkan anggaran yang optimal.
Menurut penulis, Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh software dan hardwarenya. Di perguruan tinggi, Software yang dimaksud adalah pendidik dan tenaga kependidikan, dalam hal ini adalah dosen dan tata usaha. Sementara itu, hardware yang dimaksud adalah fasilitas, sarana dan prasarana yang lengkap. Untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas software dan hardware tersebut, perguruan tinggi memerlukan biaya yang sangat besar. Fakultas kedokteran harus memiliki alat untuk mendeteksi detak jantung pasien agar dapat menentukan langkah pengobatan lebih lanjut dengan cepat dan akurat. fakultas penerbangan membutuhkan laboratorium untuk menghasilkan berapa kekuatan sayap pesawat ketika terbang dengan kecepatan tertentu. fakultas teknik harus mempunyai laboratorium untuk melihat kekuatan beton untuk dilintasi kendaraan dengan berat tertentu.
Sudah merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas mulai dari Aceh sampai dengan Papua. Masalahnya adalah apakah cukup total dana pendidikan tersebut diambil dari APBN? Jawaban singkatnya adalah tidak. Kalaupun cukup maka akan ada pengorbanan dari sektor lain dan itu sulit untuk dilakukan.
Tulisan ini mencoba untuk memperbesar makna “tanggung jawab pemerintah” dari yang awalnya adalah pendanaan pendidikan dari dana APBN, menjadi lebih besar lagi, yaitu tanggung jawab pemerintah untuk mengaktifkan kembali wakaf untuk pendidikan. Pemerintah harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk menggerakkan wakaf.
Kita harus bisa belajar dari pengalaman yang ada baik masa lampau ataupun sekarang. sejarah menunjukkan bahwa pemerintah besar dahulu kala mengalami defisit dimana pada akhirnya pemerintah meminjam dari universitas Al Azhar. Al Azhar telah lama menjalankan konsep wakaf produktif melalui kebun-kebun kurma yang sangat luas. Hasil wakaf produktif ini digunakan untuk membiayai operasional universitas tersebut. Akibatnya, mahasiswa tidak hanya tidak membayar uang sekolah, tetapi setiap bulan mendapatkan beasiswa. Selain itu juga, dosen-dosen juga dibayar dari wakaf produktif tersebut. Karena banyaknya hasil wakaf, universitas Al Azhar dapat membantu pemerintah yang mengalami defisit saat itu.
Kadang kadang kita merasa silau dengan fasilitas fasilitas kampus diluar negeri dengan laboratorium yang lengkap dan fasilitas perpustakaan dengan jutaan buku. tapi kadang kita lupa bahwa kampus diluar negeri bisa seperti itu adalah karena wakaf. hanya saja mereka menamakannya sebagai endowment funds.
Harvard university telah lama menerapkan endowment fundsnya dan pada akhir 2016 kekayaan endowment funds yang dimiliki adalah sebesar 35,6 milyar dollar. Harvard menempati posisi teratas, diikuti oleh Yale University sebesar 20,7 milyar dollar, Priceton University 18,8 milyar dollar, Stanford University 18,7 milyar dollar dan Massaschussets Institute of Technology 10,8 milyar dollar. Itulah 5 universitas yang memiliki dana abadi terbesar di Amerika.
Dana tersebut digunakan untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya kuliah. Penggunaan yang lain adalah menggaji professor dengan gaji yang tinggi dan menarik, sehingga professor terbaik dari seluruh dunia akan datang untuk mengajar disitu. Dana itu juga digunakan untuk memperbaiki fasilitas universitas seperti ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, dan lain-lain.
Adapun tujuan dari endowment funds ini adalah untuk diinvestasikan, sehingga nilai total assetnya tidak tergerus inflasi, dan hasil investasinya, sebagian diinvestasikan lagi dan sebagian digunakan untuk biaya pendidikan. Kalau dilihat dari tujuannya, maka sejatinya endowmend funds ini adalah wakaf. Dalam Islam, wakaf mendapat penekanan lebih, yaitu tidak hanya unsur duniawi untuk penyediaan fasilitas penunjuang pendidikan, tetapi juga unsur akherat dimana pahala tiada terputus sampai dengan hari kiamat.
Prinsip umum dalam waqaf adalah tidak berkurangnya nilai waqaf itu sendiri dan sifatnya yang abadi. Sehingga yang paling sering digunakan orang sebagai waqaf adalah tanah, dan bangunan. Pengadilan Ottoman telah menyetujui praktek waqaf uang pada abad ke 15, dan menjadi sangat populer pada abad ke 16 di seluruh Anatolia dan daratan Eropa dari kerajaan Ottoman, Turki. Pada zaman ottoman Empire, waqaf uang ini dipraktekkan hampir 300 tahun, dimulai dari tahun 1555-1823 M. Lebih dari 20 persen waqaf uang di Kota Bursa, selatan Istambul, telah bertahan lebih dari seratus tahun. Dalam pengelolaannya, hanya 19 persen waqaf uang yang tidak bertambah, sementara 81 persen mengalami pertambahan (akumulasi) modal. Dalam penelitiannya, Pofessor Murat Cikazca (1998) menyimpulkan bahwa Waqaf uang berhasil mengorganisasikan dan membiayai biaya pendidikan, kesehatan, dan kegiatan lainnya, yang hari ini ditanggung oleh negara atau pemerintah daerah setempat. Sehingga waqaf uang memainkan peranan yang vital pada era ottoman empire tanpa biaya dari negara.
Waqaf uang yang terkumpul, sebagian digunakan untuk membangun pendidikan, dan sebagiannya lagi diinvestasikan dengan akad murabaha, dimana keuntungannya akan digunakan untuk gaji ustadz/guru, asisten, qori, dan nazir waqaf tersebut. Hal ini pernah terjadi pada bulan safar, 1513 M, Elhac Sulaymen mewaqafkan 70.000 dirham perak. 40.000 dirham digunakan untuk membangun sekolah, dan 30.000 dirham lagi digunakan untuk pembiayaan murabahah. Hasil investasi murabahah ini, digunakan untuk membayar gaji guru sebesar 3 dirham per hari, asisten 1 dirham, qori pembaca Al-qur’an 1 dirham, dan nazir, pengelola waqaf, 2 dirham setiap harinya.
Melihat praktik waqaf yang sudah sangat maju 454 tahun yang lalu, rasanya tidak berlebihan kalau ke depannya kita bangkitkan lagi wakaf untuk pendidikan yang dulu pernah ada. Orang Minang menyebutnya “Mambangkik batang tarandam” yang artinya adalah: Membangkitkan kembali marwah/kehormatan yang telah lama terpendam/terabaikan karena suatu keadaan.
Sumber: Tulisan Opini di Republika 29/7/19 oleh: Hendri Tanjung (Anggota Badan Wakaf Indonesia & Wakil Direktur PascaSarjana UIKA Bogor) dan Raditya Sukmana ( Guru Besar Ekonomi Syariah Universitas Airlangga)